Jumat, 23 September 2011

Secercah Harapan Ibu

By: Mira Agustina


Tengah malam yang sunyi dan ditemani udara malam yang menusuk-nusuk roma. Seorang wanita paruh baya duduk bersimpuh di atas sajadah sambil memanjatkan doa kepada Sang Ilahi. Beliau adalah ibuku, hampir disetiap malam beliau mendoakan anak-anaknya agar kelak menjadi anak-anaknya yang berhasil dan dapat membahagiakan orang tua.Begitu besar harapan beliau kepada kami anak-anaknya khususnya kepada aku. Aku heran ,mengapa ibu selalu antusias agar aku nanti menjadi seorang guru, padahal selama ini cita-citaku adalah menjadi seorang pengusaha.
            Pada saat ku lihat ibu sedang duduk di ruang keluarga, rasa ingin tahuku pun semakin menggebu-gebu, ingin sekali aku mengetahui jawaban ibu.Akhirnya langkah demi langkah ku lalui hingga kini aku telah berada di depan ibu dengan perasaan ku yang penuh dengan tanya.
            “ibu……!!” kata ku dengan nada lembut. “Iya, kenapa nak?”, jawab ibu
            “Aku ingin bertanya tentang suatu hal dengan ibu,, “. Tanya ku dengan perasaan yang semakin menggebu-gebu. “Apa nak?, katakan saja pada ibu”, kata ibu yang semakin penasaran dengan pertanyaanku.
            “Begini bu, aku selalu bingung mengapa ibu sangat  antusias agar aku nanti menjadi seorang guru?, paddahal cita-cita aku salama ini adalah menjadi seorang pengusaha bukan guru?”
            “Nak, guru adalah pekerjaan yang paling mulia , selain itu ibu juga ingin salah seorang anak ibu meneruskan cita-cita ibu yang tidak bisa terwujud. Ibu sangat berharap pada kamu nak!, ya sudah ibu akan menceritakan alasannya , sekaligus menjadi motivasi untuk kamu.”
            Dengan perasaan yang penuh dengan beribu tanya dan sorot mata yang selalu tertuju pada ibu, aku pun mendengarkan cerita ibu dengan baik.
***

Masa lalu ibu
            Gemuruh sorak-sorai suara azan berkumandang, pertanda fajar akan menyongsog dunia. Dengan langkah yang pasti , aku meninggalkan rumah bergegas menuju surau untuk menunaikan sholat subuh. Seusai sholat subuh , aku dan teman-temanku pun pergi ke sebuah kebun cegkeh yang jarakya tidak jauh dari rumahku. Kebun tersebut bukan lah kebun milik keluargaku, akan tetapi hampir setiap hari aku dan teman-teman ke sana untuk memunguti cengkeh-cengkeh yang berjatuhan di tanah. Setelah semua cengkeh ku kumpulkan , cengkeh tersebut kemudian aku jual ke warung dekat rumahku dan uang hasil jualan tersebut ku gunakan untuk uang jajan ku.Terlebih karena ibu ku yang jarang membekaliku uang jajan. Keluarga kami adalah keluarga yang tergolong tidak mampu,  ayah ku adalah seorang buruh dan ibu hanyalah seorang ibu rumah tangga.
            Aku kini duduk dikelas VI SDN 1 Kuraitaji , Pariaman. Di sekolah aku tergolong siswa yang pandai, predikat juara 1 selalu aku raih.Walaupun keadaan ekonomi keluargaku tak sebanding dengan teman-temanku, aku tidak pernah merasa minder, karena aku mempunyai kepintaran yang lebih dari mereka.
            Saat aku berjalan didepan sebuah gang yang setiap hari ku lalui, ku lihat teman-teman yang telah menungguku untuk berangkat ke sekolah bersama-sama.Ani, Yani, dan Santi melambaikan tangan mereka ke arahku dan memanggil-manggil namaku.Akan tetapi Santi terlihat terburu-buru hendak menghampiriku engan ekspresi wajah yang tidak biasanya.
            “Nurrr…., hari ini kita ka nada ulangan matemtika, bantuin aku sih please??”, bisik Santi
            “emm, tapi harus ada syaratnya…,
            “Apa?”Tanya Santi seolah tidak sabar lagi.
            “emm, Ini nihh.., harus ada upahnya lah, setuju tidak kamu?”
            “itu mah mudah , tenang saja…
            Aku pun kemudian diberi oleh Santi uang sebesar Rp.50,-. Dengan uang pemberian Santi ini , aku bisa membeli satu piring lontong sayur dan sebuah pisang goreng. “Emm, aku bisa jajan puas nih hari ini”.Kataku dalam hati.
            Sepulangnya aku dari sekolah, seperti biasanya aku bergegas pergi ke sawah untuk membawakan ayah dan paman ku makan siang.Akan tetapi hari ini aku telambat mengantarkan makan siang ayah dan paman. Aku yakin paman akan marah besar kepada ku. Akhirnya dugaan ku benar, baru satu langkah ku jejaki pematang sawah, ku lihat sesosok wajah yang memerah dengan mata yang melotot tajam kearah ku, dia tak lain adalah paman.
Dari kejauhan paman berteriak-teriak padaku dan hendak memarahiku.
            “Nurrrrr….!!”, teriak paman seraya melemparkan gumpalan tanah ke arahku.
            Aku pun cepat-cepat berlari ke arah ayah dan paman dengan rasa takut yang meluap-luap.
            Pada malam harinya, seperti biasanya aku belajar di dalam kamarku. Walaupun hanya diterangi dengan lampu minyak tanah, aku tetap bersemangat belajar,  aku tidak pernah merasa putus asa dengan keadaanku, karena aku ingin meraih cita-citaku yaitu menjadi seorang guru.
            Tiba-tiba keadaan menjadi gelap gulita, sebelumnya kurasakan hembusan angn dari arah belakang tubuhku.Ternyata ibuku yang telah meniup lampu penerangan ku.
            “nak, percuma kamu belajar terus , hanya menghabiskan minyak lampu saja, tidak akan bisa menjadi guru. Apa kamu ingin seperti Ali yang gila karena tidak bisa melanjutkan kuliahnya , Ali juga sama seperti mu, karena factor ekonomi yang tidak memungkinkan, ia pun tidak bisa membiayai keperluan sekolahnya. Akhirnya dengan keadaan terpaksa Ali pun tidak bisa melanjutkan sekolahnya dan yang lebih menakutkan lagi adalah ia menjadi stres dan akhirnya gila…!!, apa kamu juga mau seperti Ali??”
            Mendengarkan lantunan ceramah ibu, mulutku hanya terbungkam tak mengeluarkan suara sedikitpun .
            Malam telah larut, yang terdengar hanyalah nyanyian jangkrik yang memecahkan kesunyian malam. Mataku sangat berat untuk ku pejamkan .Pekataan ibu tadi masih terngiang-ngiang di telingaku.Tanpa ku sadari butiran-butiran air mataku jatuh dari keloak mataku dan mengalir membsahi pipiku.Harapan dan impianku kini hanya sebatas mimpi belaka.
            “YaALLAH, jika ini memang takdir hamba , hamba akan menerima ini semua yaAllah”.
            Akhirnya moment-moment yang menakutkan pun tiba, yaitu Ujian Nasional. Bukannya aku takut menghadapi ujian , akan tetapi aku takut tidak dapat mengikuti ujian karena aku belum membayar uang bulanan sekolah. Ingin rasanya aku beri tahu ayah dan ibu , tapi apa daya aku tidak ingin merepotkan orang tuaku.
            Betapa sedih dan pilunya hatiku  , aku tidak bisa meneruskan sekolahku. Kulihat teman-temanku berbondong-bondong menuju sekolah dengan raut wajah mereka yang sumringah. Sedangkan aku, aku hanya bisa bersembunyi di dalam rumahku dan menangis sendu meratapi nasib .
            Siang harinya, saat aku sedang membantu ayah dan paman di sawah , tiba-tiba ku lihat sesosok lelaki yang tidak asing bagiku, beliau adalah Pak Toni, salah satu guru di sekolah ku. Entah perasaan apa yang kurasakan, semuanya bercampur aduk seperti rujak yaitu perasaan takut, sedih, dan malu saat kulihat Pak Toni semakin mendekat kepadaku, dan kemudian menghampiriku.
            “Nur, mengapa kamu tidak masuk sekolah tadi?”. Tanya Pak Toni
            “sss…ssa..yyyaaa…!!!”
            Aku tidak bisa berkata apapun , mataku berkaca-kaca saat kulihat wajah pak Toni, air mata ku mengalir tanpa ku sadari.
            “nak, ceritakan pada bapak , apa yang sebenarnya terjadi?”, Tanya pak Toni cemas.
            “Saya belum membayar uan bulanan pak,” jawab ku dengan nada lirih .
            “Oh , mengapa sebelumnya tidak bilang sama bapak saja, bapak akan bantu jika bapak bisa.”
            “tapi saya sudah mempunyai keputusan yang bulat pak, lebih baik saya usaikan sekolah saya , saya tidak ingin membebankan orang tua saya pak,” jawab ku seraya menghapus air mata yang bermuara di pipiku.
            “ya sudah nak, jika itu mau kamu , bapak tidak bisa berbuat apalagi.”
            “iya pak……’
            Beberapa tahun kemudian , aku telah tumbuh menjadi wanita dewasa, aku telah memilki pekerjaan yang cukup membuatku keluar dari lubang kemiskinan yaitu dengan menjahit. Walaupun cita-cita ku tak dapat ku raih, aku tetap senang dengan pekerjaan ku sekrang ini.Selang beberapa tahun kemudian aku pun menikah dengan seorang lelaki kenalan orangtua ku. Aku senang karena memiliki suami yang baik dan  mempunyai pekerjaan yang mapan juga.
***
            Setelah mendengarkan cerita ibu, hatiku sangat terenyuh.Betapa mirisnya kisah yang pernah beliau alami.Kini aku tahu, mengapa ibu sangat antusias agar aku nanti menjadi seorang guru. Harapan ibu yang sangat besar pada masa lalunya semua kandas karena faktor ekonomi yang sangat tidak mendukungnya.Aku akan melawan segala rasa egoisku dan berjuang sampai titik tertinggi kemampuanku demi mewujudkan impian ibu selama ini. Kini, aku akan berusaha menjadi yang terbaik untuk ibu dan akan meneruskan cita-cita beliau yang sangat mulia. Aku ingin suatu saat nanti melihat ibuku tersenyum puas melihat aku kelak menjadi seorang yang beliau inginkan .

1 komentar:

  1. wah wah wah, mengharukan sangat ini ceritanya :""""""""D (nangis terharu)

    BalasHapus

KISI-KISI SAS MTK TL

Nama Guru                         : Mira Agustina, S.Pd Mata Pelajaran                  : Matematika Tingkat lanjut Materi                 ...